Kisah Presiden Soeharto Ogah Pakai Rompi Antipeluru Saat Kunjungi Bosnia yang Sedang Perang
MAGENTA -- Soeharto adalah presiden kedua Republik Indonesia. Anak petani dari Dusun Kemusuk, Godean, Yogyakarta ini memulai kariernya sebagai presiden pada 1968 menggantikan presiden pertama Sukarno.
Soeharto diberi mandat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai Presiden Republik Indonesia pada 26 Maret 1968. Soeharto dipilih kembali oleh MPR pada 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Pada tahun 1995, Presiden Soeharto nekat mengunjungi Bosnia Herzegovina meski negara tersebut sedang berperang. Kala itu, Sjafrie Sjamsoeddin adalah orang yang bertanggungjawab atas keselamatan Soeharto. Sjafrie menjabat sebagai Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden dengan pangkat kolonel inf.
BACA JUGA: Alasan Soeharto Ogah Temui Habibie Usai Lengser
Sjafrie bercerita saat tiba di Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina, suasana perang begitu mencekam. Suara tembakan terdengar di kejauhan, di sana-sini gerakan prajurit-prajurit yang bersiaga penuh.
"Pak, kenapa sedang sensitif begini, Bosnia sedang kritis, Bapak datang?" tanya Sjafrie Sjamsoeddin dikutip dari buku Pak Harto: The Untold Stories yang disusun oleh Mahpudi dkk, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2011.
"Ya, kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin negara Non-Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang, ya kita datang saja. Kita tengok," kata Soeharto.
BACA JUGA: Soeharto Peluk Erat Hosni Mubarak Tiga Hari Sebelum Lengser dan Mundurnya 14 Menteri
Sjafrie bertanya lagi; "Tapi, ini kan risikonya besar?"
"Ya, itu kita bisa kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka menjadi tambah semangat," kata Soeharto.
Sebelum terbang ke Sarajevo, kata Sjafrie, presiden Soeharto singgah dulu di ibu kota Kroasia, Zagreb untuk bertemu dengan presiden Kroasia Franjo Tudjman. Di Zagreb, Sjafrie mendapat informasi pesawat yang ditumpangi utusan khusus PBB, Yasushi Akashi, ditembaki saat terbang ke Bosnia.
BACA JUGA: Cerita Ibu Tien Soeharto Belikan Gigi Palsu Staf KBRI yang Ompong
Untung saja tidak jatuh korban. Insiden tersebut tak membuat nyali Soeharto menjadi ciut.
"Saya pamit dulu untuk pergi ke Sarajevo," kata Soeharto kepada presiden Kroasia.
Pada 13 Maret 1995, Soeharto tetap nekat terbang ke Sarajevo menggunakan pesawat sewaan buatan Rusia yang juga biasa dipakai PBB. Karena terbatasnya kursi, pengawal Soeharto saat itu hanya dua orang, yakni Kolonel Inf Sjafrie Sjamsoeddin dan Komandan Detasemen Pengawal Pribadi Presiden Mayor CPM Unggul K. Yudhoyono.
Di dalam pesawat itu ikut juga menlu Ali Alatas, mensesneg Moerdiano, panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung, kepala Badan Intelejen ABRI (BIA) Mayjen TNI Syamsir Siregar, komandan Paspamres Mayjen Jasril Jakub, dan ajudan presiden Kolonel Int. Sugiono.
Sesuai prosedur keamanan PBB, semua penumpang diminta mengisi formulir pernyataan risiko. Jika tidak diisi, pesawat tidak bisa berangkat. Sjafrie mengambil dua formulir. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk Soeharto.
BACA JUGA: Janji Mahathir Mohamad Temui Soeharto Jika Jadi Perdana Menteri, Memuji Setinggi Langit
"Apa itu?" tanya Soeharto.
"Pernyataan risiko, tanggung perorangan, Pak," jawab Sjafrie.
Kertas formulir di tangan Sjafrie diambil Soeharto dan langsung ditandatangani, kemudian datanya diisi Sjafrie. Penerbangan Zagreb-Sarajevo memakan waktu 1,5 jam.
Kira-kira setengah jam sebelum mendarat, ada instruksi, "Kita akan memasuki daerah yang memerlukan pengamanan, penumpang diminta memakai helm dan rompi pengaman," cerita Sjafrie. Saat itu, semua penumpang pesawat sudah memakai rompi dan helm, tinggal Soeharto yang belum.
BACA JUGA: On This Day: 26 Maret 1968, Soeharto Terima Mandat Jadi Presiden Gantikan Sukarno
"Ini tempat duduk, di bawahnya sudah dikasih antipeluru, belum?" tanya Soeharto kepada Sjafrie.
"Sudah, Pak. Kami tutup semua dengan balas troop, untuk mengantisipasi tembakan dari bawah," jawab Sjafrie.
"Sampingnya?"
"Juga sudah, Pak," kata Sjafrie.
Soeharto Ogah Kenakan Rompi Antipeluru dan Helm
Menjelang mendarat di Sarajevo, dari jendela pesawat Sjafrie melihat senjata 12.7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang, berputar terus mengikuti arah pesawat rombongan Soeharto. Itu tidak mengherankan mengingat lapangan terbang Sarajevo dimiliki oleh dua pihak. Wilayah dari ujung ke ujung landasan adalah milik Serbia, sementara samping kiri-kanannya dikuasai Bosnia.
Kemudian suasana menjadi tegang karena Soeharto belum juga mengenakan rompi antipeluru dan helm. Sjafrie mencari akal bagaimana caranya Soeharto mau memakai rompi dan helm untuk memenuhi prosedur keselamatan internasional. Sjafrie akhirnya sengaja pindah duduk ke kursi di depan Soeharto sembari memegang rompi dan helm.
Ia sengaja memperlihatkannya dengan harapan Soeharto memintanya. Alih-alih mengambilnya, Soeharto malah berkata, "Helmnya nanti masukkan ke Taman Mini, ya! Nanti helmnya masukkan ke (Museum) Purna Bhakti."
Berarti Soeharto tidak berkenan pakai helm. Meski demikian, Sjafrie tetap memegang-megang rompi dan sangat berharap Soeharto mau meminta rompinya.
BACA JUGA: Sukarno Tertawa Mendengar Permintaan Aneh Jenderal Hoegeng ke Orang Belanda
"Eh, Sjafrie. Itu, rompi itu kamu cangking (tenteng). Kamu cangking saja," kata Soeharto.
"Siap Pak!" kata Sjafrie.
Artinya, Soeharto tidak mau menggunakan rompi antipeluru.
Sjafrie bercerita semua penumpang di pesawat memakai rompi antipeluru yang cukup tebal seberat 12 kilogram. Rompi ditaruh di jas terus ditutup dengan overcoat sehingga tidak kelihatan. Rompi antipeluru yang bisa menahan tembakan M-16 itu dibawa dari Jakarta, milik Paspampres, bantuan dari Kopassus.
"Hanya Pak Harto yang tetap hanya mengenakan jas dan kopiah. Saya pun mengambil keputusan memakai kopiah juga, untung ada rekan wartawan yang membawanya dan langsung saya pinjam. Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," tulis Sjafrie dalam buku tersebut.
BACA JUGA: Saking Melaratnya, Sukarno Kecil tak Mampu Beli Petasan di Hari Lebaran
Selanjutnya, Soeharto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Sehari sebelum berangkat, tulis Sjafrie, Soeharto memberi instruksi langsung yang menempatkan saya berada di dekatnya, sementara Dandenwalpri Mayor CPM Unggul berjalan agak di depan.
"Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai para pengawalnya pun menjadi ikut kuat, tenang, dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah?" kenang Sjafrie dalam buku setebal 603 halaman itu.
Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri jabatannya sebagai Presiden menyusul terjadinya kerusuhan dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. (MHD).
BACA JUGA: Sukarno tak Puasa Ramadhan Saat Bacakan Teks Proklamasi, Apa Sebab?