News

Kemnaker Ungkap Fakta Banyak Lulusan Perguruan Tinggi Enggan Jadi Petani

Lulusan perkuliahan masih mendominasi lapangan pekerjaan di perkotaan. Ilustrasi: republika.co.id

MAGENTA -- Perguruan tinggi memiliki peran penting dalam ketenagakerjaan karena konsekuensi setelah lulus perkuliahan adalah masuk ke dunia kerja. Namun, lulusan perkuliahan saat ini masih mendominasi lapangan pekerjaan di perkotaan.

Hal tersebut diungkapkan Sekjen Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi di acara Sharing Session Keluarga Fisipol Gadjah Mada (Kafgama) 88 bertajuk “Post-Grad Transition: Persiapan Menghadapi Dunia Kerja” pada Jumat (22/9/2023).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Mereka yang sebetulnya dari desa, dan diberikan kesempatan pendidikan ke kota, jarang kembali lagi ke desanya. Nah kami berkomitmen untuk menjadikan desa ini sebagai pusat-pusat ekonomi, sehingga terjadi relasi antara desa dan perkotaan,” kata Anwar dikutip dari ugm.ac.id, Selasa (26/9/2023).

BACA JUGA: Kemnaker akan Terus Membangun BLK Komunitas

Anwar mengatakan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, sebanyak 75,63 persen lulusan universitas memilih bekerja di perkotaan. Hal ini tentu berimplikasi pada program pengembangan desa oleh pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Bahkan, jika dilihat dalam konteks segmentasi jenis pekerjaannya, 86,91 persen pekerja berpendidikan tinggi hanya tersebar di sektor formal tersier, seperti bidang perdagangan dan jasa. Sedangkan sektor primer, seperti pertanian yang justru menjadi tumpuan kesejahteraan masyarakat dari segi bahan pangan mengalami penurunan.

Anwar menyebutkan, terjadi de-agrikulturisasi dalam distribusi pekerja lulusan universitas. Jika terus dibiarkan, produksi pangan dikhawatirkan melemah dan krisis pangan akan terjadi.

BACA JUGA: Mengenal Pramaditya Wicaksono, Guru Besar Termuda UGM di Usia 35 Tahun

“Data ini kalau diagregatkan dengan seluruh data ketenagakerjaan sebenarnya agak berbeda. Mayoritas masyarakat banyak yang bekerja di sektor informal, terutama masyarakat pedesaan. Nah, mereka ini kelompok rentan karena tidak mendapat perlindungan dan hak-hak ketenagakerjaan. Tapi pengalaman ketika pandemi, sektor ini lebih bisa survive daripada sektor formal. Bahkan ketika sektor formal sedang tidak beroperasi,” ucap Anwar.

Menurut Anwar hambatan tersebut dinilai cukup berisiko dalam menghadapi bonus demografi penduduk di 2045, ketika 72 persen penduduk memasuki usia produktif.

“Jepang itu sudah 49 tahun produktif. Artinya sedikit lagi, dia akan memasuki masa penduduk usia tua. Hanya sedikit yang produktif. Nah, ini menjadi sebuah isu. Kalau kita bisa mengelola dengan baik akan menjadi berkah, kalau tidak akan menjadi musibah. Pertama, kalau seandainya periode keemasan ini bisa kita lakukan dengan baik, maka ketika dependency ratio ini meningkat, kita memiliki akumulasi saving yang cukup,” kata Anwar.

BACA JUGA: Mengenal Farrel, Mahasiswa Penyandang Disabilitas Netra UGM Lulus Cumlaude

Selain itu, sektor sekunder yang sebenarnya memiliki potensi besar pun juga kurang diminati oleh lulusan perguruan tinggi. Anwar menekankan, contoh paling besar adalah dinamika di bidang pertanian, di mana intervensi dan program pengembangan yang dilakukan masih belum cukup untuk mengangkat potensi sektor pertanian desa.

Anwar menambahkan isu ketenagakerjaan lain muncul jika melihat tren pekerjaan di kelompok gen Z. Saat ini berbagai sektor pekerjaan, khususnya perkantoran menerapkan sistem Digital Nomad atau WFA (Work From Anywhere). Pekerja tidak dituntut untuk menetap di kantor, melainkan dibebaskan bekerja di mana saja selama terhubung dengan internet.

Bahkan beberapa praktik dilakukan selama bertahun-tahun bekerja di luar kantor, lalu memutuskan tinggal di tempat tujuan tersebut. Metode ini banyak diminati oleh gen Z di sektor pekerjaan tersier perkotaan.

“Gen Z ini jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, itu jauh. Mereka memiliki kemampuan digital knowledge yang luar biasa. Mereka juga memiliki literasi digital dan kemampuan bahasa asing yang lebih baik. Tapi mereka kelemahannya adalah ketidakloyalan. Makanya konsep yang kita usung dalam ketenagakerjaan ini adalah paid based on hours. Ini yang sebenarnya mencoba diberikan oleh UU Ketenagakerjaan. Jadi, bukan melemahkan, tapi justru mengantisipasi ke depannya, bahwa nantinya pekerja tidak lagi dibayar sesuai upah bulanan, melainkan per jam,” terang Anwar.

BACA JUGA: Mahasiswa UGM Bantu Masyarakat Halmahera Utara Olah Buah Pala Menjadi Selai