Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sarah Fauziah

Mudik dan Masalah Transportasi: Bukti Gagalnya Sistem Kapitalisme?

Kebijakan | 2025-03-28 09:28:23
Freepik.com


Menjelang musim mudik Lebaran 2025, pemerintah kembali menghadirkan berbagai program diskon tiket transportasi guna membantu para pemudik mengurangi biaya perjalanan.


Diskon ini mencakup tiket pesawat kelas ekonomi dengan potongan harga antara 13% hingga 14%, serta diskon 25% untuk tiket kereta api di semua kelas. Tak hanya itu, pemerintah juga menggandeng badan usaha jalan tol untuk memberikan potongan tarif tol sebesar 20% di beberapa ruas jalan strategis di Pulau Jawa dan Sumatra. (nasional.sindonews.com, 22/02/2025).


Kebijakan ini disambut baik oleh sebagian masyarakat yang merasa terbantu, tetapi di sisi lain menimbulkan kekecewaan, terutama bagi mereka yang mengandalkan transportasi umum seperti bus dan kapal, yang tidak mendapatkan insentif serupa. Marak pula kasus travel gelap yang dicap sebagai kegagalan pemerintah mengelola pelayanan angkutan umum oleh pengamat transportasi, Djoko Setijowarno (liputan6.com, 22/03/2025).

Fenomena ini memperlihatkan ketimpangan dalam sistem transportasi yang semakin nyata. Dengan mayoritas pemudik menggunakan transportasi umum, kebijakan ini dinilai lebih menguntungkan mereka yang memiliki kendaraan pribadi. Akibatnya, banyak masyarakat yang terpaksa mencari alternatif transportasi lain, termasuk travel ilegal yang semakin menjamur. Sayangnya, pilihan ini membawa risiko tinggi karena tidak adanya jaminan keamanan dan kenyamanan.

Ditambah lagi dengan infrastruktur yang buruk, sering kali terjadi kecelakaan di musim mudik akibat jalan yang tidak layak atau kemacetan parah di jalur utama. Seperti apa yang dilaporkan dalam liputan6.com (22/03/2025), bahwa ada sebuah kecelakaan minibus yang menewaskan 12 orang penumpang.

Semua permasalahan ini bermuara pada sistem tata kelola transportasi yang berbasis kapitalisme sekuler. Dalam sistem ini, transportasi tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan publik yang wajib dijamin oleh negara, tetapi sebagai komoditas yang dikelola untuk meraih keuntungan.

Mayoritas pengelolaan sektor ini diserahkan kepada pihak swasta yang berorientasi profit, sementara negara hanya berperan sebagai regulator. Akibatnya, kebijakan yang diterapkan lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha dibandingkan kesejahteraan masyarakat.

Infrastruktur transportasi pun dikembangkan secara tidak merata, sehingga hanya kelompok tertentu yang mampu membayar lebih mahal yang dapat menikmati layanan transportasi berkualitas. Sementara itu, masyarakat kelas bawah harus menghadapi berbagai hambatan seperti akses terbatas, tarif tinggi, serta minimnya jaminan keselamatan dan kenyamanan saat bepergian.

Selain itu, ketimpangan pembangunan yang berpusat di perkotaan semakin memperparah kondisi ini. Kurangnya fasilitas dan lapangan kerja di daerah memaksa masyarakat untuk mencari nafkah di kota besar. Hal ini menciptakan siklus tahunan di mana para perantau kembali ke kampung halaman saat Lebaran, meskipun perjalanan mereka penuh dengan tantangan. Ini adalah dampak nyata dari sistem kapitalisme yang lebih berfokus pada pertumbuhan ekonomi berbasis bisnis dibandingkan kesejahteraan rakyat.

Dalam Islam, transportasi adalah bagian dari fasilitas umum yang harus dikelola oleh negara untuk kepentingan masyarakat, bukan sebagai sektor komersial yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Meskipun pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya besar, negara tetap berkewajiban untuk menyediakannya tanpa bergantung pada sektor swasta yang berorientasi profit.

Negara harus memastikan bahwa layanan transportasi yang aman, nyaman, terjangkau, dan tepat waktu tersedia bagi seluruh rakyat. Islam juga menegaskan bahwa pembangunan harus dilakukan secara merata di seluruh wilayah, tidak hanya di perkotaan tetapi juga di pedesaan dan daerah terpencil.

Dengan pemerataan ini, setiap daerah dapat mengembangkan potensinya secara optimal, menciptakan lebih banyak peluang usaha dan lapangan kerja. Akibatnya, masyarakat tidak perlu bergantung pada kota besar untuk mencari nafkah, sehingga kebutuhan untuk mudik dalam jumlah besar bisa berkurang.

Untuk mewujudkan pembangunan ini, negara harus mengalokasikan anggaran yang cukup dan tidak menggantungkan diri pada investasi swasta. Pembangunan infrastruktur, termasuk jalan dan transportasi umum, harus tetap berjalan, baik ada maupun tidak ada dana di Baitul Mal.

Jika dana tidak mencukupi, negara boleh mengumpulkan pajak (doribah) dari rakyat sebagai bentuk tanggung jawab bersama. Jika pajak tidak bisa segera dikumpulkan, negara boleh meminjam dana, tetapi harus bebas dari bunga (riba) agar tidak terjerat dalam ketergantungan finansial terhadap pihak asing.

Dengan menerapkan sistem Islam yang berlandaskan pada aturan syariat, berbagai masalah transportasi ini dapat diatasi. Travel ilegal tidak akan lagi menjamur karena sistem transportasi yang disediakan negara sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Infrastruktur jalan akan terpelihara dengan baik, perjalanan menjadi lebih aman dan nyaman, serta risiko kecelakaan akibat jalan rusak dapat diminimalkan. Hanya dengan penerapan sistem Islam di bawah kepemimpinan yang berlandaskan syariat, kesejahteraan masyarakat dalam hal transportasi dapat benar-benar terwujud.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image