On This Day: G30S PKI, Dokter Ungkap Kondisi Jenazah Jenderal Ahmad Yani Saat Ditemukan
MAGENTA -- Hari ini, 58 tahun lalu terjadi peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang oleh Orde Baru disebut peristiwa G30S/PKI. Kudeta yang gagal itu dilakukan pada 30 September dan berlangsung hingga 1 Oktober 1965. Gerakan ini dimotori oleh pemimpin terakhir Partai Komunis Indonesia (PKI) Dipa Nusantara Aidit atau DN AIdit.
Peristiwa berdarah yang juga sering disebut Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) dan Gestok (Gerakan Satu Oktober) merupakan peristiwa yang bertujuan menggulingkan pemerintah presiden Sukarno dan mengubah Indonesia menjadi negara yang menerapkan sistem komunis.
Aksi kudeta dengan cara penculikan itu menyebabkan gugurnya enam perwira tinggi dan satu perwira menengah TNI AD. Ketujuh perwira yang menjadi korban, yakni sebagai berikut.
BACA JUGA: Kisah Soedirman: Guru SD yang Jadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat
1. Letnan Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani
2. Mayor Jenderal (Anumerta) Raden Suprapto
3. Mayor Jenderal (Anumerta) Mas Tirtodarmo Haryono
4. Mayor Jenderal (Anumerta) Siswondo Parman
5. Brigadir Jenderal TNI (Anm) Donald Isaac Pandjaitan
6. Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo
7. Letnan Satu (Lettu) (Anumerta) Pierre Andreas Tendean.
BACA JUGA: Soeharto Peluk Erat Hosni Mubarak Tiga Hari Sebelum Lengser dan Mundurnya 14 Menteri
Tujuh jenazah korban Gerakan 30 September itu ditemukan pertama kali pada 3 Oktober 1965 di dalam sumur di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Sumur itu dalamnya sekitar 12 hingga 15 meter dengan diameter berkisar 0,75 meter. Jenazah-jenazah tersebut baru diangkat pada keeseokan harinya, 4 Oktober 1965.
Proses pengangkatan jenazah dimulai pukul 11.00 dan berakhir sekitar pukul 15.00 WIB. Jenazah dimasukkan peti dan langsung dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto menggunakan Panser. Pangkostrad Letnan Jenderal Soeharto, Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhie Wibowo serta Letnan Dua Sinton Panjaitan memantau jalannya evakuasi.
Dinukil dari buku Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan oleh Amurwani Dwi Lestariningsih, ternyata kondisi jenazah para jenderal setelah diangkat dari Lubang Buaya tidak seperti yang diberitakan oleh media massa.
BACA JUGA: Kesederhanaan Bung Hatta: Ironi Sepatu Bally tak Terbeli dan Tas Branded Istri Pejabat
Berikut penuturan Prof. Dr. Arif Budianto (dulu bernama Liem Joe Thay), salah seorang dokter yang ikut dalam tim otopsi jenazah para jenderal seperti dimuat dalam majalah D&R.
...Di kamar otopsi, saya melihat secara umum, kondisi mayat memang sudah membusuk. Memang tidak berulat, tapi kulit arinya sudah ngelotok. Tidak juga terlalu kembung, tapi sedikit berlendir dan kulitnya kekuningan. Semua mayat masih berpakaian lengkap seperti yang dipakai terakhir.
BACA JUGA: On This Day: 26 Maret 1968, Soeharto Terima Mandat Jadi Presiden Gantikan Sukarno
Itu sebabnya tim kami mendata benda-benda yang melekat di tubuh mayat. Saya memeriksa mayat pertama mulai dari giginya. Di antara dua gigi serinya, juga gigi taringnya, ada gigi kecil dan aneh. Itu kelainan, namanya mesio dentist. Saya melihat keanehan itu. Lalu, saya tanyakan kepada dokter Angkatan Darat, dokter giginya, adakah yang punya gigi begitu.
Dia yang langsung bilang, "Oh, ini Jenderal Yani!" Ketika memeriksa mayat Jenderal Yani, ada satu hal saya paling ingat. Bola matanya sudah copot dan mencelat keluar. Itu terjadi karena ketika dimasukkan ke sumur, kepalanya lebih dulu. Di dasar sumur itu ada air, jadi kepalanya terendam di sana....
BACA JUGA: Tak Punya Uang, Sukarno Lelang Peci Kesayangan untuk Bayar Zakat Fitrah