On This Day: 5 Oktober 1945 HUT TNI, Detik-Detik Jenderal Soedirman Jadi Panglima TNI Pertama
MAGENTA -- Hari ini, 78 tahun lalu Tentara Nasional Indonesia (TNI) terbentuk. Dalam sejarahnya, TNI mengalami beberapa kali pergantian nama.
Pada mulanya, TNI bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR dibentuk pada 22 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Kemudian, pada 5 Oktober 1945, BKR berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Selanjutnya, dengan alasan untuk memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer internasional, nama TKR diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
BACA JUGA: On This Day: 26 Maret 1968, Soeharto Terima Mandat Jadi Presiden Gantikan Sukarno
Seiring berjalannya waktu, pemerintah terus menyempurnakan tentara Indonesia. Pada 3 Juni 1947, presiden mengesahkan berdirinya TNI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat.
Nama TNI kemudian sempat berubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 1962, di bawah pemerintahah Soekarno. Alasan perubahan nama untuk meleburkan TNI dan Polri.
Setelah reformasi 1998, TNI dan Polri kembali ke wujud semula. TNI yang membidangi pertahanan membawahi tiga matra, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Sementara Polri membidangi masalah keamanan. Dan, tiap tanggal 5 Oktober diperingati sebagai hari lahirnya TNI.
BACA JUGA: Alasan Soeharto Ogah Temui Habibie Usai Lengser
Di usianya yang sudah 78 tahun ini, TNI sudah silih berganti dipimpin oleh 22 Panglima. Jenderal Besar Soedirman menjadi panglima pertama yang memimpin TNI pada 12 November 1945 hingga 26 Januari 1950.
Berikut cerita terpilihnya Jenderal Soedirman sebagai Panglima TNI pertama yang dinukil dari buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman oleh Letjen (Purn) Tjokropranolo terbitan CV Haji Masagung 1993.
Di bulan November 1945, TKR terpaksa menggelar rapat pemilihan panglima besar karena di kalangan pucuk pimpinan TKR daerah merasakan adanya satu kekurangan, yaitu Soepriyadi sebagai pimpinan tertinggi TKR yang ditunjuk oleh Presiden Sukarno tidak pernah muncul. Atas dasar itu, ada keinginan kuat di kalangan pimpinan markas tinggi TKR untuk memilih dan mengangkat seorang perwira tinggi guna menggantikan Soepriyadi.
BACA JUGA: Sukarno Murka Berita Kelaparan, Terbitkan Buku Masak Mustika Rasa
Pada 12 November 1945 di Markas Tinggi Tentara Keamanan Rakyat (MTTKR) di Gondokusuman, Yogyakarta, menggelar Konferensi Besar TKR. Selain dihadiri oleh hampir semua Komandan Divisi dan Resimen TKR, konferensi juga dihadiri oleh Sri Sultan Hamengkubuono IX, Sunan Pakubuwono XII, dan Mangkunegoro X.
Utusan dari Sumatra yang hadir hanya seorang, yaitu Kolonel Moh Noeh mewakili enam Divisi di Sumatra, sedangkan wakil dari Jawa Timur tidak hadir lengkap karena sedang menghadapi keadaan genting sebagai akibat peristiwa 10 November. Hadir pula beberapa mantan KNIL seperti Didi Kartasasmita, Jatikusumo (KNIL dan PETA), Gatot Soebroto (KNIL dan PETA), dan Suryadarma.
Awalnya, konferensi yang dipimpin Kepala Staf Umum Letjen Oerip Soemohardjo berjalan lancar. Namun, suasana tiba-tiba menjadi tegang ketika diumumkan akan dilanjutkan rapat lain yang tidak dapat ditunda, yakni memilih calon-calon pimpinan tertinggi TKR. Karena dadakan, peserta yang hadir belum siap dengan calon-calonnya.
Suasana tegang menjadi tenang dan hangat setelah Soedirman meminta rapat diskors untuk memilih calon-calon. Pada saat itu sudah kelihatan kebijaksanaan dan kearifan Soedirman yang ketika itu berpangkat Kolonel dengan senjata dan pasukannya yang paling banyak.
Ketika rapat dimulai lagi, rapat dipimpin oleh Holland Iskandar. Pemilihan berjalan secara terbuka, demokratis. Ada delapan nama calon yang tercantum di papan tulis, di antaranya Hamengkubuwono, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Purbonegoro, Soemohardjo, Soedirman, Suryadarma, M. Pardi, dan Nazir.
Tata cara pemilihan dilakukan dengan hanya mengangkat tangan satu persatu, setelah nama-nama calon disebutkan oleh panitia. Pemilihan dilakukan tiga kali. Yang pertama dua orang calon gugur.
BACA JUGA: Saking Melaratnya, Sukarno Kecil tak Mampu Beli Petasan di Hari Lebaran
Pemilihan selanjutnya dua orang calon juga gugur lagi. Barulah pada pemilihan yang ketiga, giliran nama Kolonel Soedirman disebut.
Hasil hitungan menunjukkan suara terbanyak bagi calon yang namanya disebut terakhir kali. Selisih perbedaan suara yang diperoleh antara Soedirman dan Oerip Soemohardjo tidak banyak. Tetapi dari enam divisi di Sumatra yang mewakili enam suara memberikan seluruh suaranya itu kepada Soedirman.
Dan, Soedirman yang pernah menjadi Opsir PETA itu terpilih sebagi Panglima TKR. Soedirman mengalahkan perwira-perwira yang usianya lebih tua darinya, dan hampir semua perwira Komandan Panglima di daerah-daerah berasal dari PETA dan Gyugun.
BACA JUGA: Tak Punya Uang, Sukarno Lelang Peci Kesayangan untuk Bayar Zakat Fitrah
"Dan hari ini saya dengan rasa khidmat akan melantik saudara Soedirman menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat kita dengan pangkat Jenderal. Kewajiban seorang panglima besar bagi kita adalah berat sekali," kata presiden Sukarno saat melantik Soedirman menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 18 Desember 1945 di Markas Besar Tentara di Gondokusuman, Yogyakarta.
Pengangkatan Kolonel Soedirman yang masih berumur 29 tahun menjadi orang nomor satu di TKR di luar dugaan Belanda saat itu, karena dalam pemilihan Panglima Besar TKR, Soedirman harus bersaing dengan Hamengkubuwono IX, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Purbonegoro, Oerip Soemohardjo, Suryadarma, M Pardi, dan Nazir. Peluang Soedirman menjadi panglima besar sangat tipis.
Setelah pemilihan, sebuah surat kabar Belanda mengejek dan meremehkan pengangkatan Soedirman menjadi panglima. "Republik Indonesia mengangkat seorang guru SD menjadi panglima besar. Tahu apa guru sekolah itu!" tulis media Belanda seperti dikutip dari buku tersebut.
BACA JUGA: Kesederhanaan Bung Hatta: Ironi Sepatu Bally tak Terbeli dan Tas Branded Istri Pejabat
Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX diusulkan menjadi Menteri Pertahanan. Oerip Soemohardjo yang usianya jauh lebih tua, diminta tetap menjadi Kepala Staf Umum TKR. Beliau dianggap mahir soal strategi militer dalam menghadapi tentara Belanda.
Di kalangan perwira-perwira Jawa yang besar jumlah anggotanya, Soedirman mempunyai kelebihan daya tarik dan dipandang punya kharisma yang besar. Di zaman pendudukan Jepang, Soedirman pernah duduk sebagai anggota Dewan Daerah "Syu Sangi Kai" di Purwokerto, di Jawa Tengah, sehingga sedikit banyak punya pengalaman di dunia politik.
Sesudah Proklamasi, Soedirman menjadi lebih terkenal di medan perang karena mampu memukul mundur sebuah satuan tugas Inggris di Ambarawa. Di hari-hari pertama pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyar) di Banyumas, Soedirman berhasil melakukan perlucutan senjata terhadap bala tentara Jepang dengan jalan diplomasi tanpa banyak korban.
Soedirman adalah pemimpin divisi yang mempunyai persenjataan lebih banyak yang diperoleh dari hasil penyitaan dari pihak Jepang sehingga dapat membantu divisi lainnya yang kekurangan persenjataannya. Soedirman juga punya kewibawaan yang disegani oleh pihak Jepang saat menjabat sebagai Daidancho.
Soedirman juga pernah menjabat sebagai guru sekolah Muhammadiyah yang memiliki sifat kebapakan. Soedirman adalah pemimpin pemuda Muhammadiyah.
Soedirman adalah pemimpin Pramuka Hisbulwathon maupun KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Soedirman adalah pemimpin koperasi kabupaten. Soedirman juga menjadi anggota DPRD.
BACA JUGA: Cerita Bang Ali Tampar Sopir Truk dan Digaji Rp 9.500 untuk Ngurusin Jakarta
Meskipun pernah mengikuti latihan PETA sebagai Daidancho, Soedirman yang lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916 adalah seorang pendiam, teguh hati, lemah lembut tetapi tegas sebagai seorang pemimpin dalam ketentaraan. Soedirman cepat mengambil keputusan yang tepat. Sekali putusan diambil, tidak dapat mudah diubah lagi oleh siapapun.
"Beliau selalu tekun menjalankan agamanya, yaitu agama Islam sehingga beliau berkat rahmat dan bimbingan Allah SWT lahir sebagai seorang pemimpin bagi Tentara Indonesia yang meniti dan naik panggung sebagai Panglima Besar yang akan memenangkan perjuangan kemerdekaan. Memang itulah kenyataannya yang terjadi! Soedirman menjadi Panglima Besar," tulis Tjokropranolo dalam bukunya.
Pada 29 Januari 1950, Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman wafat di Magelang, Jawa Tengah. Banyak rakyat berkumpul hingga sepanjang dua kilometer untuk ikut mengiringi prosesi pemakaman sang pahlawan revolusioner tersebut. Empat tank dan 80 kendaraan bermotor turut mengantarkan Jenderal Besar Soedirman menuju tempat peristirahatan terakhirnya di Taman Makam Pahlawan Yogyakarta. (MHD)
BACA JUGA: Kesederhanaan Bung Hatta: Ironi Sepatu Bally tak Terbeli dan Tas Branded Istri Pejabat