History

On This Day: 29 Januari 1950 Jenderal Soedirman yang Selalu Menjaga Wudhu Itu Wafat

Monumen Jenderal Soedirman di area CBD PIK2, Tangerang, Banten. Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto

MAGENTA -- Hari ini 74 tahun lalu, tepatnya 29 Januari 1950, air mata rakyat Indonesia tumpah tak terbendung. Bendera setengah tiang dikibarkan. Panglima Besar Jenderal Soedirman menghembuskan napas terakhirnya di Magelang.

Bapak Gerilya Indonesia ini wafat pada usia 34 tahun. Sebelum meninggal dunia, Soedirman bergerilya dari hutan ke hutan sembari melawan penyakit TBC kronis.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Saat memimpin perang gerilya, Soedirman lebih sering ditandu karena penyakitnya. Kurang lebih tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali, sementara obat juga hampir tidak ada.

BACA JUGA: Doa Agar Utang Segera Lunas

Namun demikian, tentara Belanda selalu gagal memburu Soedirman saat bergerilya di hutan Jawa. Bahkan, ia pernah luput dari musuh yang hanya berjarak sekitar 10-20 meter. Padahal jika saat itu penyakitnya kambuh dan membuatnya batuk-batuk, pastilah musuh akan mendengar dan menangkapnya.

Jenderal Besar Soedirman lahir di Purbalingga, Jawa Tengah pada 24 Januari 1916. Soedirman sangat dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam.

Soedirman selalu manjaga wudhu. Saat wudhunya batal, Soedirman akan berwudhu kembali. Bahkan, jika tidak dalam masuknya waktu sholat pun, ia tetap akan berwudhu.

BACA JUGA: Hanya Ada Tiga Jenderal Bintang Lima di Indonesia, Siapa Saja?

Dikutip dari Republika.co.id, saat memimpin perang gerilya Soedirman tidak pernah menunda untuk beribadah, termasuk dalam kondisi sakit. Saat bergerilya, Soedirman memerintahkan kepada ajudannya untuk membawa kendi yang berisi air. Air tersebut ia gunakan untuk berwudhu saat perang gerilya. 

Wafatnya Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Banyak rakyat berkumpul hingga sepanjang dua kilometer untuk ikut mengiringi prosesi pemakaman sang pahlawan revolusioner tersebut. Empat tank dan 80 kendaraan bermotor turut mengantarkan sang Jenderal Besar menuju tempat peristirahatan terakhirnya di Taman Makam Pahlawan Yogyakarta.

Untuk mengenang 74 tahun kematiannya, MAGENTA ingin menceritakan kembali perjalanan Jenderal Soedirman menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia pertama. Berikut kisahnya.

Kisah Soedirman Menjadi Panglima Tentara Pertama Indonesia

"Dan hari ini saya dengan rasa khidmat akan melantik saudara Soedirman menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat kita dengan pangkat Jenderal. Kewajiban seorang panglima besar bagi kita adalah berat sekali," kata Presiden Sukarno saat melantik Soedirman menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 18 Desember 1945 di Markas Besar Tentara di Gondokusuman, Yogyakarta.

Pengangkatan Kolonel Soedirman yang masih berumur 29 tahun menjadi orang nomor satu di TKR di luar dugaan Belanda saat itu karena dalam pemilihan Panglima Besar TKR, Soedirman harus bersaing dengan Hamengkubuwono IX, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Purbonegoro, Oerip Soemohardjo, Suryadarma, M Pardi, dan Nazir. Peluang Soedirman menjadi panglima besar sangat tipis.

BACA JUGA:  Tak Punya Uang, Sukarno Lelang Peci Kesayangan untuk Bayar Zakat Fitrah

Setelah pemilihan, sebuah surat kabar Belanda mengejek dan meremehkan pengangkatan Soedirman menjadi panglima. "Republik Indonesia mengangkat seorang guru SD menjadi panglima besar. Tahu apa guru sekolah itu!" tulis media Belanda seperti dikutip dari buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman yang ditulis oleh Letjen (Purn) Tjokropranolo terbitan CV Haji Masagung 1993.

TKR terpaksa menggelar rapat pemilihan panglima besar karena di kalangan pucuk pimpinan TKR daerah merasakan adanya satu kekurangan, yaitu Soepriyadi sebagai pimpinan tertinggi TKR yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno tidak pernah muncul. Atas dasar itu, ada keinginan kuat di kalangan pimpinan markas tinggi TKR untuk memilih dan mengangkat seorang perwira tinggi guna menggantikan Soepriyadi.

Kemudian, pada 12 November 1945 di Markas Tinggi Tentara Keamanan Rakyat (MTTKR) di Gondokusuman, Yogyakarta, menggelar Konferensi Besar TKR. Selain dihadiri oleh hampir semua Komandan Divisi dan Resimen TKR, Konferensi juga dihadiri oleh Sri Sultan Hamengkubuono IX, Sunan Pakubuwono XII, dan Mangkunegoro.

BACA JUGA: Ngeyel, Soeharto Ogah Pakai Rompi Antipeluru Saat Kunjungi Bosnia pada 1995

Utusan dari Sumatra yang hadir hanya seorang, yaitu Kolonel Moh Noeh mewakili enam Divisi di Sumatera, sedangkan wakil dari Jawa Timur tidak hadir lengkap karena sedang menghadapi keadaan genting sebagai akibat peristiwa 10 November. Hadir pula beberapa mantan KNIL seperti Didi Kartasasmita, Jatikusumo (KNIL dan PETA), Gatot Soebroto (KNIL dan PETA), dan Suryadarma.

Awalnya, konferensi yang dipimpin Kepala Staf Umum Letjen Oerip Soemohardjo berjalan lancar. Namun, suasana tiba-tiba menjadi tegang ketika diumumkan akan dilanjutkan rapat lain yang tidak dapat ditunda, yakni memilih calon-calon yang akan dipilih menjadi pimpinan tertinggi TKR. Karena dadakan, peserta yang hadir belum siap dengan calon-calonnya.

Suasana tegang menjadi tenang dan hangat setelah Soedirman meminta rapat diskors untuk memilih calon-calon. Pada saat itu sudah kelihatan kebijaksanaan dan kearifan Soedirman yang ketika itu berpangkat kolonel dengan senjata dan pasukannya yang paling banyak.

BACA JUGA: Kesederhanaan Bung Hatta: Ironi Sepatu Bally tak Terbeli dan Tas Branded Istri Pejabat

Ketika rapat dimulai lagi, rapat dipimpin oleh Holland Iskandar. Pemilihan berjalan secara terbuka, demokratis. Ada delapan nama calon yang tercantum di papan tulis, di antaranya Hamengkubuwono, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Purbonegoro, Soemohardjo, Soedirman, Suryadarma, M. Pardi, dan Nazir.

Tata cara pemilihan dilakukan dengan hanya mengangkat tangan satu persatu, setelah nama-nama calon disebutkan oleh panitia. Pemilihan dilakukan tiga kali. Yang pertama, dua orang calon gugur.

Pemilihan selanjutnya dua orang calon juga gugur lagi. Barulah pada pemilihan yang ketiga, giliran nama Kolonel Soedirman disebut.

BACA JUGA: On This Day: 21 Mei 1981, Indonesia Geger Saat Hamka Putuskan Mundur Sebagai Ketua MUI

Hasil hitungan menunjukkan suara terbanyak bagi calon yang namanya disebut terakhir kali. Selisih perbedaan suara yang diperoleh antara Soedirman dan Oerip Soemohardjo tidak banyak. Tetapi dari enam divisi di Sumatra yang mewakili enam suara memberikan seluruh suaranya itu kepada Soedirman.

Dan, Soedirman yang pernah menjadi Opsir PETA itu terpilih sebagi Panglima TKR. Soedirman mengalahkan perwira-perwira yang usianya lebih tua darinya, dan hampir semua perwira Komandan Panglima di daerah-daerah berasal dari PETA dan Gyugun.

Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX diusulkan menjadi Menteri Pertahanan. Oerip Soemohardjo yang usianya jauh lebih tua, diminta tetap menjadi Kepala Staf Umum TKR. Beliau dianggap mahir soal strategi militer dalam menghadapi tentara Belanda.

BACA JUGA: Kocak, Pak AR Fachruddin Lulus Bikin SIM Meski Motor Dituntun Saat Praktik

Di kalangan perwira-perwira Jawa yang besar jumlah anggotanya, Soedirman mempunyai kelebihan daya tarik dan dipandang punya kharisma yang besar. Di zaman pendudukan Jepang, Soedirman pernah duduk sebagai anggota Dewan Daerah "Syu Sangi Kai" di Purwokerto, di Jawa Tengah sehingga sedikit banyak punya pengalaman di dunia politik.

Sesudah Proklamasi, Soedirman menjadi lebih terkenal di medan perang karena mampu memukul mundur sebuah satuan tugas Inggris di Ambarawa. Di hari-hari pertama pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyar) di Banyumas, Soedirman berhasil melakukan perlucutan senjata terhadap bala tentara Jepang dengan jalan diplomasi tanpa banyak korban.

Soedirman adalah pemimpin divisi yang mempunyai persenjataan lebih banyak hasil dari penyitaan pihak Jepang sehingga dapat membantu divisi lainnya yang kekurangan persenjataan. Soedirman juga punya kewibawaan yang disegani oleh Jepang saat menjabat sebagai Daidancho.

Soedirman juga pernah menjabat sebagai guru sekolah Muhammadiyah yang memiliki sifat kebapakan. Soedirman adalah pemimpin pemuda Muhammadiyah.

BACA JUGA: HUT Bhayangkara 2023, Teringat Permintaan Aneh Jenderal Polisi Hoegeng ke Orang Belanda

Soedirman adalah pemimpin Pramuka Hisbulwathon maupun KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Soedirman adalah pemimpin koperasi kabupaten. Soedirman juga menjadi anggota DPRD.

Meskipun pernah mengikuti latihan PETA sebagai Daidancho, Soedirman yang lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916 adalah seorang pendiam, teguh hati, lemah lembut tetapi tegas sebagai seorang pemimpin dalam ketentaraan. Soedirman cepat mengambil keputusan yang tepat. Sekali putusan diambil, tidak dapat mudah diubah lagi oleh siapapun.

"Beliau selalu tekun menjalankan agamanya, yaitu agama Islam sehingga beliau berkat rahmat dan bimbingan Allah SWT lahir sebagai seorang pemimpin bagi Tentara Indonesia yang meniti dan naik panggung sebagai Panglima Besar yang akan memenangkan perjuangan kemerdekaan. Memang itulah kenyataannya yang terjadi! Soedirman menjadi Panglima Besar," tulis Tjokropranolo dalam bukunya.

BACA JUGA: Cerita Ibu Tien Soeharto Belikan Gigi Palsu Staf KBRI yang Ompong